Salahkah jika perempuan bekerja dan laki-laki menjadi ayah rumah tangga?
Selamat datang di thread kece bikinan aneQuote:Pembagian tugas menurut jenis kelamin masih marak. Bapak rumah tangga seakan menentang diskriminasi tersebut
Dalam menyikapi kondisi yang banyak mendera pasangan saat ini--contoh, istri punya prospek karier lebih bagus ketimbang suami--sudah saatnya "tidak pilih-pilih lagi mana (pekerjaan) domestik atau mana (pekerjaan) yang (berada di ranah) publik." Seiring dengan pandangan Ibnu dan Anwar, Indraswari menukas bahwa kesetaraan dan saling-dukung jadi dasar yang membentuk rumah tangga.
Meski data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dari tahun ke tahun selalu naik (2014, 51,85 persen, dan 2015, 58,11 persen), tapi itu belum tentu berkorelasi dengan angka bapak rumah tangga. "Harus ada data mengenai jumlah stay-at-home dads di sini (Indonesia)," ujarnya.
Jika merujuk tulisan Indraswari di Jurnal Perempuan mengenai pembagian kerja seksual dan domestik perempuan, keberadaan laki-laki yang mengurus anak dan rumah tangga kemungkinan memecahkan masalah diskriminasi yang membuat perempuan "berhenti berkembang setelah menikah dan memiliki anak karena sebagian besar waktu dan tenaga tercurah untuk urusan" rumah tangga.
Alasan yang dipakai untuk tidak bekerja di kantor pun beragam. Peningkatan lebih tinggi tertuju pada mereka yang memutuskan untuk berada di rumah (seraya menghasilkan uang) karena memang ingin punya waktu lebih banyak untuk anaknya (survei 2012). Persentasenya 21 persen, atau empat kali lebih besar dari 1989.
Coba simak kisah nyata dua ayah rumah tangga di Jakarta ini:
Anwar Abdillah terlahir di Sukabumi, Jawa Barat, 39 tahun lalu dari pasangan guru, Anwar mengaku "telat menikah" karena baru naik pelaminan pada 2012 lalu. Namun, dalam urusan mengurus anak, ia telah jauh merasainya, yakni periode setelah ibunya melahirkan anak kembar. Ia masih bocah kelas lima sekolah dasar. Namun, sebagai abang, Anwar pun mengambil tanggung jawab pengasuhan itu dengan sepenuh hati saat sang ibu mesti pergi mengajar. "Saya memang sudah terbiasa sendiri, karena pembantu pun tidak setiap hari ada," ujarnya.
Meski berstatus sebagai alumni dari Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia, Anwar justru tidak pernah menerapkan ilmu tersebut dalam tataran profesional. Ia malah memasuki ranah jurnalistik dengan menjadi wartawan di harian Radar Depok pada 2001. Dua tahun di sana, Anwar diajak oleh seorang teman merintis pendirian tabloid dengan sokongan "ayah penyanyi cilik Tasya". Usia penerbitan itu, kata Anwar, tidak panjang. Sulitnya mencari pemasang iklan jadi salah satu musabab matinya berkala itu. "Waktu portal online cuma ada Detik, saya bikin depokmetro.com. Tapi, enggak bertahan lama karena enggak banyak yang mau beriklan," kenangnya.
Pada tahun yang sama dengan waktu pernikahannya, Anwar dan istri, Ema Puspitasari, pada November dikaruniai seorang anak laki-laki. "Sejak lahir hingga sekarang, saya yang mengurus anak kalau istri sedang bekerja," kata Anwar. Keluarga itu pernah menyewa jasa pembantu, tapi hanya tiga bulan. Itu pun hanya mengurusi kebersihan dan kerapian rumah.
Anwar tidak ambil pusing dengan pandangan orang mengenai peran yang dilakoninya di rumah. Untuk urusan pemasukan, ia merasa "zaman sudah berubah. Usaha bisa dijalankan dari rumah." Yang lebih penting baginya adalah "anak tidak terlantar. Itu yang paling berharga".
Salah satu caranya untuk menjaga yang berharga itu adalah memberikan pemahaman dalam berinteraksi dengan orang tidak dikenal. "Saya kasih tahu kalau diajak orang asing, jangan mau dan teriak 'help'," ujarnya. Bahkan, Anwar menyuntikkan keberjarakan pada anaknya dengan memberi nama pria tak dikenal sebagai "oom stranger." Namun, masalahnya, sang putra dilahirkan dengan mengusung keramahan. Ia acap memergoki anaknya sedang memanggil orang lain dengan sebutan "oom stranger" seraya melambai-lambaikan tangan.
Ia mengaku sang istri pernah merasa cemburu dengannya karena bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan sang anak. Ia bercerita bahwa ketika sang anak masih dalam fase belajar berbicara, yang keluar dari mulutnya semata kata "papa". Itu karena interaksi sang bayi lebih banyak berlaku dengan ayahnya. "Tapi, setelah sudah bisa bilang mama, enggak lagi," ujarnya.
seterusnya baca disini aja gan
Semoga aja thread ini berguna buat agan-agan supaya bisa lebih lebih menjalankan peran masing-masing dalam keluarga yang tidak lagi harus dibedakan berdasarkan pekerjaan laki-laki dan perempuan Jangan lupa share ke temen gan thread ini, rate bintang 5 pun boleh
Quote: Ada banyak infografik-infografik keren yang bisa agan liat disini gan
Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng deh
Sumur:
Beritagar.id
Jangan lupa cek thread ane yang lain gan
Quote:
- 5 kata Bahasa Indonesia yang selama ini sering salah digunakan
- Menurut agan Setya Novanto perlu mundur atau nggak
- Terungkap, 5 provinsi di Indonesia yang suka BAB sembarangan. Cek gan!
- Yuk gan cari tahu sejarah lampu lalu lintas
- 4 Pertanyaan penting saat kencan pertama
- 5 es krim kekinian di Instagram yang wajib agan coba
- 6 tips liburan murah buat agan-agan
- Minum air gak harus 8 gelas sehari gan
- Kontes adu jelek di Zimbabwe ricuh karena yang menang masih dianggep ganteng (FOTO)
- Agan tipe anak kos yang kaya gimana?
- Jangan sekali-kali kabur dari razia polisi kalo gak mau kaya gini gan (FOTO)
- Sedih gan, orang-orang ini ga dikasih main Facebook gara-gara namanya
- Pemandangan sungai di Jakarta yang sempet bikin heboh nih gan! (FOTO)
- 5 tips hemat BBM
- Serba paling di Hari Film Nasional
Sumber :http://m.kaskus.co.id/thread/5717134012e257ff478b456c/salahkah-jika-perempuan-bekerja-dan-laki-laki-menjadi-ayah-rumah-tangga/?ref=threadlist-21&med=top_thread
0 komentar:
Posting Komentar